Anak autis Tak Punya Masa Depan ?
GEJALA autis yang menimpa anak-anak usia dini sungguh mencemaskan para orang tua. Betapa tidak, walaupun gejala ini belum termasuk dalam katagori cacat, namun penanganan autis justru lebih sulit dibanding penanganan anak-anak penderita kelompok cacat tertentu. Sikap introvert yang sulit ditembus, ditambah dengan keterbelakangan mental, nyaris memupuskan harapan kalau anak autis bisa sembuh dan hidup normal. Kendati demikian, terobosan baru yang ditemukan, dapat menjadi solusi angin segar. Autis dapat ditangani dengan tiga metode terpadu, sekaligus, yakni terapi akupuntur, sekolah, dan aktivitas berenang.
Dalam suatu diskusi menarik, yang pernah saya baca pada sebuah jurnal yang ditampilkan oleh sekumpulan peneliti Universitas Melbourne, bekerja sama dengan United Nation Children’s Fund (UNICEF) sebulan silam, ditemukan fakta autis dapat diatasi, bahkan ada kecenderungan 80 persen penyakit ini dapat disembuhkan.
Sebenarnya autis atau autisme adalah keadaan introversi mental seseorang di mana perhatian hanya tertuju pada diri sendiri. Jika digolongkan dalam istilah penyakit, maka autis merupakan penyakit ketidakteraturan dalam perkembangan otak, sehingga secara fungsi, penderitanya akan mengalami gangguan sistem syaraf yang tampak pada pola tingkah laku berupa sifat hiperaktif.
Pada umumnya, autis ini cenderung terjadi pada balita dan anak-anak, khususnya rentang usia 4-10 tahun. Penderita umumnya mengalami gangguan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Secara perlahan diikuti pula oleh prilaku lainnya seperti hiperaktif, agresif, dan stereotipik.
Mungkin sejak dini, perilaku balita dan anak ini dapat diamati, bila ia cenderung menyendiri, sangat tertutup, pendiam, namun agresif, maka ciri awal autis sudah terlihat. Selanjutnya, anak yang terserang autis ini semakin sering mengasingkan diri, kelima indranya berfungsi namun tidak cukup normal, dimana seluruh bunyi, warna, bentuk, dan pola-pola yang terekam diluar dirinya sama sekali tidak mempengaruhi perasaan dan pikirannya. Yang terpikir, terasa, hanyalah hal-hal yang timbul dari dan pada dirinya sendiri, dengan kata lain, ia hanya terfokus pada dirinya sendiri. Di sinilah seolah-olah kelima indranya jadi tak berfungsi.
Di sisi lain, ketidakteraturan pada perkembangan otak, tentunya berasal juga dari terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik otak. Karenanya jangan heran, anak autis dapat beraktivitas di luar normal, seolah tidak kenal waktu dan rasa lelah. Di sinilah, dasar-dasar munculnya sikap yang berkembang ke arah hiperaktif (aktivitas fisik dan emosional yang sangat berlebihan), dan agresivitas (faktor emosional yang meluap-luap). Akibat kelima indra yang seolah tak berfungsi, maka anak autis cenderung menyalurkan dan melampiaskan seluruh mental emosionalnya pada suatu gerakan stereotipik, yakni mengulang-ulang kata dengan gerakan serupa, termasuk membentur-benturkan kepalanya ke dinding atau tembok secara berulang-ulang pula. Aktivitas berlebih disertai faktor emosional juga menyebabkan anak autis ini jadi sulit untuk tidur.
Di lain pihak, kecenderungan yang terjadi di masyarakat justru tidak mendukung para penderita autis menuju kesembuhan. Bayangkan, para ibu atau keluarga yang anaknya terindikasi mengidap gejala autis justru kadang merasa malu dengan lingkungan sekitarnya, dan menganggap hal tersebut adalah aib. Anaknya dibawa ke perkumpulan dan sekolah penyandang cacat, atau bahkan, dilindungi secara berlebihan di dalam rumah, tanpa dibiarkan berinteraksi dengan lingkungan. Hasilnya?, nyaris semua penderita autis menjadi penderita tetap seumur hidup, tanpa ada yang sembuh! Ironi bukan?
Beberapa pekan silam, sebuah pusat pelatihan penderita autis di Jawa, menarik perhatian saya. Betapa tidak? Dalam riset dan pola pengembangan yng mereka terapkan pada anak didiknya, yang seluruhnya adalah penderita autis, mampu mencapai angka kesembuhan tinggi. Terapi yang diberikan adalah pola terpadu, berupa terapi akupuntur selama 15 menit/hari, ditambah aktivitas berenang dua kali sehari, plus sekolah khusus dengan guru dan pola ajaran bagi penderita autis.
Akupuntur berupa terapi tusuk jarum pada titik-titik syaraf vital di tubuh mampu melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan daya rangsang syaraf, menuju kenormalan. olahraga (terutama berenang) mampu menjadi media penyalur tingkat aktivitas penderita yang hiper dan agresif. Secara perlahan pun terlatih menuju ketenangan. Selanjutnya, sekolah khusus membantu memfasilitasi kegiatan terapi tersebut secara terpadu. Hasilnya, diperoleh perkembangan positif, tingkat hiperaktif dan agresifits menurun,dan fungsi syaraf otak mengalami perbaikan.
Walaupun kesembuhan tidk bisa diperoleh secara drastis, tetap harus sabar dengan terapi yang rutin.
Sebagai pendukung keberhasilan terapi ini, penting juga diperhatikan pola makan. Penderita autis pantang makan jenis makanan bercitarasa pedas, asam, dan makanan berkadr lemak tinggi, aplagi karbohidrat berlebih, sebab efeknya tidak bagus terhadap kelancaran sistim syaraf dan peredaran darah.
Tatkala penyakit teratasi dan penderita bisa menjalani kehidupan normal, maka kesembuhan telah diraih, asal terapi tadi dijalankan serius. Jadi siapa bilang penderita autis bermasa depan gelap dan tak bisa hidup normal kembali ? (Neneng Jbr Sari)
Dalam suatu diskusi menarik, yang pernah saya baca pada sebuah jurnal yang ditampilkan oleh sekumpulan peneliti Universitas Melbourne, bekerja sama dengan United Nation Children’s Fund (UNICEF) sebulan silam, ditemukan fakta autis dapat diatasi, bahkan ada kecenderungan 80 persen penyakit ini dapat disembuhkan.
Sebenarnya autis atau autisme adalah keadaan introversi mental seseorang di mana perhatian hanya tertuju pada diri sendiri. Jika digolongkan dalam istilah penyakit, maka autis merupakan penyakit ketidakteraturan dalam perkembangan otak, sehingga secara fungsi, penderitanya akan mengalami gangguan sistem syaraf yang tampak pada pola tingkah laku berupa sifat hiperaktif.
Pada umumnya, autis ini cenderung terjadi pada balita dan anak-anak, khususnya rentang usia 4-10 tahun. Penderita umumnya mengalami gangguan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Secara perlahan diikuti pula oleh prilaku lainnya seperti hiperaktif, agresif, dan stereotipik.
Mungkin sejak dini, perilaku balita dan anak ini dapat diamati, bila ia cenderung menyendiri, sangat tertutup, pendiam, namun agresif, maka ciri awal autis sudah terlihat. Selanjutnya, anak yang terserang autis ini semakin sering mengasingkan diri, kelima indranya berfungsi namun tidak cukup normal, dimana seluruh bunyi, warna, bentuk, dan pola-pola yang terekam diluar dirinya sama sekali tidak mempengaruhi perasaan dan pikirannya. Yang terpikir, terasa, hanyalah hal-hal yang timbul dari dan pada dirinya sendiri, dengan kata lain, ia hanya terfokus pada dirinya sendiri. Di sinilah seolah-olah kelima indranya jadi tak berfungsi.
Di sisi lain, ketidakteraturan pada perkembangan otak, tentunya berasal juga dari terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik otak. Karenanya jangan heran, anak autis dapat beraktivitas di luar normal, seolah tidak kenal waktu dan rasa lelah. Di sinilah, dasar-dasar munculnya sikap yang berkembang ke arah hiperaktif (aktivitas fisik dan emosional yang sangat berlebihan), dan agresivitas (faktor emosional yang meluap-luap). Akibat kelima indra yang seolah tak berfungsi, maka anak autis cenderung menyalurkan dan melampiaskan seluruh mental emosionalnya pada suatu gerakan stereotipik, yakni mengulang-ulang kata dengan gerakan serupa, termasuk membentur-benturkan kepalanya ke dinding atau tembok secara berulang-ulang pula. Aktivitas berlebih disertai faktor emosional juga menyebabkan anak autis ini jadi sulit untuk tidur.
Di lain pihak, kecenderungan yang terjadi di masyarakat justru tidak mendukung para penderita autis menuju kesembuhan. Bayangkan, para ibu atau keluarga yang anaknya terindikasi mengidap gejala autis justru kadang merasa malu dengan lingkungan sekitarnya, dan menganggap hal tersebut adalah aib. Anaknya dibawa ke perkumpulan dan sekolah penyandang cacat, atau bahkan, dilindungi secara berlebihan di dalam rumah, tanpa dibiarkan berinteraksi dengan lingkungan. Hasilnya?, nyaris semua penderita autis menjadi penderita tetap seumur hidup, tanpa ada yang sembuh! Ironi bukan?
Beberapa pekan silam, sebuah pusat pelatihan penderita autis di Jawa, menarik perhatian saya. Betapa tidak? Dalam riset dan pola pengembangan yng mereka terapkan pada anak didiknya, yang seluruhnya adalah penderita autis, mampu mencapai angka kesembuhan tinggi. Terapi yang diberikan adalah pola terpadu, berupa terapi akupuntur selama 15 menit/hari, ditambah aktivitas berenang dua kali sehari, plus sekolah khusus dengan guru dan pola ajaran bagi penderita autis.
Akupuntur berupa terapi tusuk jarum pada titik-titik syaraf vital di tubuh mampu melancarkan sirkulasi darah dan meningkatkan daya rangsang syaraf, menuju kenormalan. olahraga (terutama berenang) mampu menjadi media penyalur tingkat aktivitas penderita yang hiper dan agresif. Secara perlahan pun terlatih menuju ketenangan. Selanjutnya, sekolah khusus membantu memfasilitasi kegiatan terapi tersebut secara terpadu. Hasilnya, diperoleh perkembangan positif, tingkat hiperaktif dan agresifits menurun,dan fungsi syaraf otak mengalami perbaikan.
Walaupun kesembuhan tidk bisa diperoleh secara drastis, tetap harus sabar dengan terapi yang rutin.
Sebagai pendukung keberhasilan terapi ini, penting juga diperhatikan pola makan. Penderita autis pantang makan jenis makanan bercitarasa pedas, asam, dan makanan berkadr lemak tinggi, aplagi karbohidrat berlebih, sebab efeknya tidak bagus terhadap kelancaran sistim syaraf dan peredaran darah.
Tatkala penyakit teratasi dan penderita bisa menjalani kehidupan normal, maka kesembuhan telah diraih, asal terapi tadi dijalankan serius. Jadi siapa bilang penderita autis bermasa depan gelap dan tak bisa hidup normal kembali ? (Neneng Jbr Sari)
Belum ada Komentar untuk "Anak autis Tak Punya Masa Depan ?"
Posting Komentar